Setelah hari pertama perkenalan saat MOS berlangsung kita
diajarkan untuk bisa menyesuaikan diri kepada lingkungan diamana kita berada.
Pada hari kedua MOS ini dilalui banyak agenda kegiatan disekolah yang telah
disusun oleh panitia pelaksana MOS itu sendiri.
Di tempat duduk itu aku asik sendiri bermenung, ada hal
yang mengganjal dipikiranku dan aku hanyut dalam mengamati keadaan sekitar.
Pada jam istirahat aku merasa sendiri, teman-teman waktu sekolah menengah
pertama serasa lenyap seketika. Karna mereka telah memilih kemana mereka akan
melanjutkan sekolahnya.
Ada 3 orang siswa yang lulus di SMA favorit itu, aku dan
2 teman baikku. Yang level kemampuan dan pengetahuannya lebih dari yang ku
punya dan juga dia dibantu oom nya, setiap buku mereka berdua selalu lengkap
sedangkan aku hanya mengandalkan buku yang di pinjam di perpustakaan untuk
belajar. Sebelum kami mendaftar ke SMA itu kami bertiga pernah
berbincang-bincang disuatu tempat perihal kemana kita akan melanjutkan sekolah.
Dan kita bertiga sepakat untuk mendaftar ke SMA yang sama, dengan harapan kita
akan tetap bersama berteman.
“Mi, kamu mau masuk ke SMA mana? Satu dua atau cendekia?”
tanyaku padanya
“Kemana ya Vo?”tanyanya balik kepada divo.
“Belum tahu sih, tapi beratnya ke SMA 2, ya gak?”
“Gitu, jadi kapan kita mulai daftar bareng
kesana?”tanyaku pada mereka.
Mereka saling bertatapan “Kamu mau kesana juga?”
“Iya” jawabku.
“Oh, kalo iya sama-sama saja kita mendaftarnya”
“Oke, sipp, nantik meski kita berbeda jurusan, tapi harus
tetap main bareng ya, kek reunian gitu”
“Hahaha, Aman,” ujarku pada mereka.
“Tunggu, Disana pake tes masuknya” ujar fahmi lagi
“Serius?” tanyaku balik
“Iya, tes tertulis gitu, ada jugaa tes wawancaranya”
“Oh, gak apa-apa lah, nanti bakalan di persiapkan kok.”
Ya mereka memberitahu itu, karena mereka tidak mau
temannya gagal masuk ke SMA itu, menurutku wajar saja, karna kami bertiga
selalu bersaing ketat pas waktu SMP dulu. Jika aku satu kelas dengan Fahmi, aku
yang peringkat duanya dan dia peringkat pertama. Jika aku satu kelas dengan
Divo, aku juga yang jadi peringkat keduanya, Divo yang peringkat pertama ya
seperti itu lah skemanya sampai tamat SMP, aku belum pernah mencicipi tempat
pertama jadi belum tahu gimana rasanya.
***
“Mau minum?” tawar seorang siswi kepadaku yang
membuat aku terbangun dari lamunaanku.
“Eh, gak terima kasih.” Jawabku
“Namaku Nur, kalo kamu?” uucapnya sampil menyodorkan
tangannya ke arahku
“Andra saputra, panggil saja putra atau andra, terserah”
jawabku. Aku masih tetap menikmati pemandangan siswa yang sedang berlalu
lalang.
Dia diam sejenak, dan aku pun tetap diam.
“Oh iya” kami mengucapkannya secara bersamaan pandangan
kami berdua bertatapaan.
“Kamu duluan” ujarnya
“Kamu aja” ujarku, lalu kami tertawa berasama.
“Kamu mau bilang apa?” tanyaku.
“Aku cuman mau bilang, kaamu unik”
“Ha? Unik dari mana?”
“Ya dari kamu lah” jawabnya yaang semakin membuatku
bingung.
“kenapa aku yang unik? Biasa-biasa saja”
“Hehehehe, ini kamu minum dulu” dia memberikan aku botol
minuman.
“Terima kasih” ucapku padanya
“Sama-sama, jangan di lihat—lihat botolnya” ujarnya
“Dah, aku kelas dulu ya.”
“Sipp.”
“Nur, kamu nantik pulang bareng sama aku ya” tawarku
padanya.
Dia tersenyum mengisyaratkan bahwa dia menjawab “Iya”
Dia berlalu, pergi ke kelasnya, aku tidak begitu
memperhatikan dia berada di kelas yang mana, aku lupa menanyakannya tadi. Aku
lihat botol yang dia berikan tadi. “Apa yang aneh ya dengan botol ini, kenapa
tidak boleh di lihat-lihat?” tanyaku penasaran. Aku memutar botol itu kekiri-kekanan, dan melihat sebuah
tulisan. “Kamu itu unik sejak pertama aku melihat kamu dari kejauhan. Terima
kasih sudah mau berkenalan denganku. Nur” itu tulisanya, aku tak mengerti
maksudnya dia itu apa, kenapa aku di bilang unik, padahal aku baru dua hari
berada di sekolah ini.
Jam sudah menunjukkan waktu istirahat sudah berakhir dan
aku bergegas menjuju ke kelas untuk mengikuti kegiatan selanjutnya dengan rasa
penasaran kepada Nur yang memberikan aku sebuah botol minuman yang bertuliskan
itu. Entah kenapa ada yang beda hari itu, jam jam terakhir aku mengikuti
kegiatan di sekolah aku merasa lebih semangat dari sebelumnya mungkin karena
aku berkenalan dengan Nur yang baik hati entah lah.
“Hey,” sapa Nur dari belakangku
“Eh Nur” jawab ku lalu tersenyum
“Kamu pulang naik apa?”tanya Nur setelah itu
“Naik kaki”Jawabku yang langsung membuatnya menatap ke
arahku
“Kaki?”tanyanya memastikan
“Hehehe, aku jalan kaki, kos an ku dekat dari sini”
jelasku padanya
“Owh.”
“Iya, kamu naik apa pulangnya?” tanyaku padanya
“Di jemput paman nanti” jawabnya.
“Apa kamu mau jalan-jalan denganku?”
“Kemana?”tanyanya penasaran.
“Mau kan?”
“Boleh” tanyanya saambil tersenyum
“Tapi kita kemana? Jangan bawa aku jauh-jauh ya”
“Udah tenang aja, aman kok”
“Iya” jawabnya
Aku dan Nur terus berjalan menuju tempat tujuan, beberapa
menit dari tempat kami mulai berjalan. Di sebuah tempat yang tidak ada banyak
orang menikmatinya, tempat itu tak banyak orang yang tahu, hanya orang-orang
yang sedang kesepian saja yang tahu dan merasakan keindahan tempat itu.
“Ini tempat apa?”tanya Nur penasaran kepadaku
“Ini tempat yang jauh dari keramaian, menurut orang-orang
yang datang kesini tempat ini tempat dia menimbun semua rasa kesedihan yang dia
alami.”
“Lalu kenapa kita kesini, aku dan kamu kan tidak sedang
kesepian?”tanyanya lagi.
“Hahaha, kan gak harus juga Nur, tempat ini di jadikan
khusus untuk orang kesepian saja.”
“Ooh ya Nur, aku mau nanya ke kamu. Apa sih bedanya bahagia
dan sedih itu?”tanyaku pada Nur
Ia terdian, menatap kedepan di depan kami berdua sebuah
pemandangan yang sederhana tapi indah bila di lihat. “Ya, jelas beda lah,
bahagia itu identik dengan senang, kalo sedih ya mukanya kayak kamu itu.
Hahaha.” Jawabnya Nur sambil cekikikan melihat reaksiku.
“Menurutku bahagia itu jika aku bertemu dengan seseorang
yang sederhana sepertimu, dan sedih itu ketika kamu pergi meninggalkan aku
begitu saja setelah tahu kekuranganku Nur” jelasku yang membuat Nur berhenti
dari tertawanya
“kenapa aku?” tanyanya
“Ya karena tanpa alasan setelah kita bertemu tadi pagi”
“Memangnya kamu tahu, aku yang sebenarnya bagaimana?”
pertanyaan dari Nur ini membuatku berhenti berpikir.
“Aku tak peduli kamu itu bagaimana Nur, jika aku nyaman
dengamu dalam berteman aku senang”
“Hmmm”
Hari itu kami pulang agak sore karna terlalu asik
menikmati indahnya pemandangan itu hingga aku lupa waktu, Nur pulang di jemput
dengan pamannya, aku tak bisa ikut dengannya karna aku belum merasa pantas
untuk di perkenalkan dengan keluarganya
Nur untuk saat ini cukup ini dulu.
Perkenalanku di hari kedua ini cukup menyenangkan aku
berkenalan dengan teman-teman baru yang terutama berhasil menarik perhatianku
yaitu Nur. Meski aku dan Nur jauh berbeda dalam segi materi tapi aku yakin Nur
tidak melihatku dari sisi itu. Aku hanya berharap di perkenalan kedua ini aku
mendapatkan teman yang tidak mementingkan status sosialnya atau pekerjaan orang
tua.
Setelah itu aku pergi lagi ke arah jalan pulang, alias ke
kos ku, di perjalanan menuju kos-an aku melihat ada dua orang remaja mungkin
itu siswi dari sekolahku dan siswa entah dari sekolah mana nampaknya mereka
berdua sedang berdebat entah apa yang mereka perdebatkan, namun aku tidak peduli
dan menghiraukannya, aku lebih fokus ke pada membayangi wajahnya Nur aku tak
mengundang wajah Nur ke alam pikiranku, tapi wajahnya Nur selalu saja datang. “Tak mungkin lah aku langsung jatuh hati kepada Nur, kan aku baru
mengenalnya” tepisku dalam hati. “Lebih
baik kamu fokus dengan cita-citamu.” Ujarku dalam hati.
***
Aku dari dulu bercita-cita ingin menjadi dokter, Itu
cita-cita yang bagus dan butuh perjuangan yang matang. Makanya aku memilih
masuk ke SMA ini untuk mempermudah jalanku menggapai cita-cita dengan masuk PTN
yang sesuai dengan cita-citaku.
Untuk mendapatkan tempat duduk di SMA favorit itu banyak
cara yang di lakukan oleh para orang tua agar anaknya mendapatkan kursi
disana. Di mulai dari memasukkan anak
mereka ke tempat-tempat les, bahkan ada para orang tua nekad menyogok guru
disana agar anak mereka bisa bersekolah disana atau di sebut dengan orang dalam.
“Biarkan aku masuk ke SMA itu dengan kemampuan ku
sendiri, Ayah” pintaku
Tapi tetap saja Ayahku besikeras membayar orang untuk
mempermudah masuk kesana, kebetulan ada saudaranya disana.
“Kau tenang saja kau bakalan lulus disana, dan juga kau
bakalan duduk di tempat yang kau inginkan yaitu kelas IPA.” Ujar Ayahku.
“Aku tak mau” tegasku lalu masuk ke kamarku dan mengunci
pintu dari dalam
Aku ingat sekali bagaimana ayah memaksa ku untuk menerima
tawaran untuk mau masuk IPA, memang aku menginkan kelas IPA tapi aku tidak mau
dengan cara ini. Terlepas dari itu semuanya tidak berjalan sesuai keinginan,
aku lulus disana dan mendapatkan jurusan yang jauh sekali dari keinginanku. Itu
artinya aku harus mulai dari awal untuk beradaptasi lagi. Tapi saat itu bagiku
tidak masalah mau di IPS atau IPA.
Dari perkenalanku dengan Nur itulah yang membuatku
bertahan dengan jurusan ini, aku gak tahu apa hubunganya semangat dengan
perkenalan dengan Nur. Tapi tidak dengan semangat belajarku, aku merasa di
jurusan ini terasingkan, diasingan aku merasa sendirian disisni aku harus
berjuang sendirian, bayangann Nur tidak bisa menghalanginya.
Namun tetap sama aku hanya mencari teman yang sudah aku
kenal dulu diwaktu masih di bangku SMP yang tak lain adalah temanku yang
berjanji bersama-sama mendaftar ke SMA ini. Aku bergegas pergi dari tempat
duduk semula untuk menghampiri kedua temanku yang berada di lokal yang berbeda.
Meski gugup karna tidak PEDE aku tetap memberanikan diri untuk menjumpai teman
lamaku itu mereka berdua berada dalam
satu kelas, bahkan aku merassa aneh juga kenapa aku sendiri yang berbeda
kelasnya.
Itu berbeda, berbeda sekali. Di dalam kelas kedua temanku
itu berkumpul semua orang yang bisa dibilang kutu bulu semua. Aku terheran,
ternganga memandangi mereka semua. Meski sedikit tidak menerima aku tetap menghampiri
temanku itu.
“Nanti, selesai ini kita pulang ke kost bareng ya”
pintaku.
Temanku hanya menjawab singkat “Iya” hanya itu.
Murid-murid yang
ada di kelas itu terheran dan melihatku seperti melihat orang asing yang
menjadi penyusup dikelas mereka, pada hal mereka semua adalah sama, satu
sekolah yaitu SMANDA. Pertemuanku dengan kedua temanku itu tidak berhasil karna
menurutku sepertinya mereka berdua berusaha menghindariku entah apa sebabnya.
Di perjalanan menuju kelas ku semuala aku terus berpikir,
kenapa bisa mereka berdua berada dalam satu kelas, dan kenapa aku berada
berbeda kelas, ada apa ini? Pertanyaan-pertanyaan yang seperti orang bodoh
muncul di kepalaku memenuhi kepalaku. “Ah, dari dulu kan mereka berdua unggul
dariku, jadi wajar saja aku di letakkan di kelas yang berbeda.”Bela hatiku,
tapi tidak semakin aku menepisnya dengan pembelaan-pembelaan
pertanyaan-pertanyaan itu banyak muncul begitu saja. Hingga aku sampai di kelas
dan duduk di tempat dudukku biasa, aku melihat teman-temanku di kelas memang
berbeda aku pun merasa asing disini. “Ah
mungkin baru hari kedua kali, makanya aku merasa asing, toh setiap situasi perlu
penyesuaian” belaku dengan didirku sendiri, perdebatan-perdebatan dengan
diriku sendiri semakin kencang, hingga aku sulit menerimanya di dalam
pikiranku. Hingga yang menghilangkannya adalah guru yang sudah mulai
mengajar tanpa aku sadari melemparkan
sebuah spidol kepaadaku.
“Kamu, kerjaannya melamun, dari tadi saya panggil.
Kesini, bawa spidol saya” perintah guru itu. Ya aku tidak menyadari bahwa
pelajaran sudah dimulai, dan teman-temanku tidak ada satupun yang peduli kepada temannya. Aku
pergi kedepan menuju guru itu dan memberikan spidol yang di lemparkannya tadi
kepadaku.
“Ini pak”
Bapak itu mengambil spidonya dan berkata “Apa yang kamu
pikirkan tadi?”
“Ada di Facebook pak” jawabku, yang sontak membuat semua
orang di kelas itu tertawa.
“Sudah, diam diam! Kamu pikir saya becanda. Sekarang kamu berdiri
disana menghadap kebelakang, angkat satu kaki dan pegang telinga.” Ya bapak itu
menghukumku. Utung saja waktu aku dihukum itu sebelum 5 menit bel berbunyi jadi
aku tidak terlalu lama kena hukumannya.
“Jam pelajaran telah selesai, diharapkaan semua siswa
pulang dengan tertib” seluruh siiswa/i di kelas itu teriak kegirangan.
“Mari kita ucapkan ALHAMDULILLAH, sampai bertemu besok,
selamat siang” pak guru itu pergi meninggalkan ruangan kelas, dan hukuman ku
sudah selesai.
“Selamat siang pak”
Siswa/i itu bergegas pergi dari kelas, sepertinya mereka
kelaparan jadi girang kalo pulang siang-siang begini. Aku berjalan ke tempat
duduk ku, tiba-tiba ada satu rombongan siswa di kelas itu melihatku, dan salah
satu dari mereka mengucapkan kalimat “Orang aneh” ya aku tidak peduli mungkin
aku kira mereka sedang dilanda kelaparan jadi wajar saja mereka seperti itu.
Aku masih fokus membereskan buku-buku dan memasukkannya kedalam tasku.
“Sudah jangan kamu dengarkan kata mereka” ujar salah
seorang siswa.
Aku melihat hanya aku dan dia di ruangan kelas itu.
“Tenang, aku tak masalah” ujarku lalu tersenyum.
“Perkenalkan, aku Johan”
“Andra panggil saja Andra atau Adek” balasku, sambil
menyandang tas
“Kayak nama anak kecil yang terlihat seperti seorang
remaja” ucapnya.
“Andra saputra, panggil saja itu” jawabku sambil menatapnya dengan tidak senang
“Haahaha. Badanmu gagah, tinggi, tapi namanya pakai
kartun anak kecil”
Aku menoleh kearahnya “Lalu? Kamu merasa terganggu?”
tanyaku padanya, aku sudah mulai emosi mendengarkannya.
“Santai” ucapnya sambil berjalan menuju kearahku.
“Apa kau mau jadi temanku?” ucapnya lagi dan menyodorkan
tangannya untuk bersalaman.
Aku tersenyum dan menjawab jabatan tangannya. “Ingat
jangan mengejek panggilanku” ucapku padanya dan berjalan ke arah jalan pulang
tanpa mrnghiraukan apa reaksinya setelah aku mengucapkan kalimat itu.
Meski agak berat kita bisa mengambil kesimpulan bahwa
mencari seorang kawan yang akan berubah menjadi teman itu sulit apalagi pada
mereka yang menitik beratkan dalam pertemanan status orang tua, kaya atau
tidaknya. Itu sangat sulit sekali kita dapatkan seorang teman yang menerima
keadaan kita yang akan di angkat menjadi seorang sahabat. Selagi kita masih
mencari kita bisa mendapatkannya, selagi kita masih berusaha kita bisa
meraihnya.
Dari dua perkenalan yang aku lalui itu banyak sekali
perbedaan-perbedaan yang luar biasa berbedanya. Karna memang iya berbeda kita
tidak bisa menyamakannya dengan situasi SMP dulu. Tapi kita tidak bisa memberi
patokaan bahwa semua orang itu sama. Itu tandanya kita main hakim sendiri karna
kita belum tahu bagaimanaa rang-orang yang kita kenal itu sebenarnya.
Lucu memang teman-teman di kelas IPS itu melekatkan nama
panggilan boboy kepadaku, awalnya agak tidak nyaman dengan nama itu, tetapi
lama kelamaan sudah terbiasa, karena nama yang khusus itu untuk orang istimewa,
kata Nur kamarin.
Komentar
Posting Komentar